Tak ada kata terlambat


Pagi ini, aku, Lika membesuk tante Rina di kamar nomor 631 disebuah rumah sakit swasta, kulihat tante sedang tertidur, disisinya tergantung botol infus, wajahnya tampak menguning. Di sana aku berjumpa dengan mamiku, mamikulah yang selama ini rajin merawat tanteku, kakak kandungnya sendiri.
“Gimana mi, khabarnya Tante Rina?”.
“Ini botol terakhir, mudah-mudahan Tante Rina besok atau lusa sudah boleh pulang”.
Sepertinya mustahil lusa tanteku sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya terbilang parah.
“Tapi mi, sudah diinfus cairan albumin, kok tante masih lemah aja, malahan bertambah parah!”.
Sudah lima hari ini aku tidak membesuk Tante Rina karena selama 5 hari ini aku terserang radang tenggorokan.
Hari ini begitu banyak perubahan yang terjadi pada tanteku, perubahan yang tidak menggembirakan. Ketika kulihat wajah tante tertimpa sinar matahari pagi, aku begitu terkejut akan perubahannya.
“Bun, wajah tante kok kuning banget, benar-benar kuning seperti kunyit!”, bisikku pada Bunda
“Dan lihat juga bun, perut tante kok jadi gedeee……banget, nggak kayak 5 hari yang lalu waktu tante baru masuk rumah sakit”.
“Sebenarnya tante sakit apa sih bun, Lika yakin tante nggak sekedar sakit hepatitis”.
“Ya sudah, sementara tantemu tertidur, kita kebawah menemui Dokter Joko Maryono”.

Kami bergegas menuju lift turun kelantai dasar, menuju ruang praktek Dokter Joko Maryono, ruang poli penyakit dalam. Siang itu tidak begitu banyak pasien mengantri, sehingga kami dapat lebih leluasa untuk berkonsultasi dengan dokter. Kuketuk pintu ruang prakteknya tuk…tuk…tuk….
“Silahkan masuk”.
Kami segera masuk dan tersenyum kepada dokter. Aku memang cukup akrab dengan dokter Joko karena dia bisa dibilang adalah dokter keluarga kami.
“Dok, sebenarnya Mbak Rina itu sakit apa sih, kenapa keadaannya semakin memburuk?”, sambat Bunda.
“Dari hasil pemeriksaan darah dan USG dapat dipastikan Ibu Rina sudah terkena kanker hati stadium lanjut, kankernya sudah menyebar kemana-mana!”.
“Lalu tindak lanjutnya apa dok?”, tanya Bunda penuh harap.
“Maaf bu, sepertinya tidak ada!”.
“Mengapa tidak dikemoterapi dok?”.
“Fisik Ibu Rina tidak akan kuat menerima cara pengobatan itu, dan kemoterapi tidak akan membantu”.
“Tidak ada pengobatan yang dapat kami lakukan bu, sekarang yang dapat kami upayakan hanya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan nutrisi dan vitamin”.
“Jadi kapan tante saya boleh pulang dok, lalu perawatan apa yang harus kami lakukan jika tante sudah kembali ke rumah?”, tanya Lika.
“Besok sudah boleh pulang dan berikan makanan yang bergizi, jauhkan dari stres dan tentunya kita banyak berdoa”.
Rencananya besok pagi Tante Rina akan keluar dari rumah sakit, berarti besok Bunda dan aku harus datang lebih awal untuk membereskan masalah administrasinya.

Pagi ini kami datang sedikit agak kesiangan, biasa……..aku paling susah kalau harus bangun pagi.
“Bun, memangnya biaya untuk rumah sakitnya udah ada?”.
“Ada, kemarin kan kita sudah kumpulin dari tante-tante, oom-oom dan keponakan-keponakan, paling-paling juga kurang sedikit”.
Bergegas aku ke bagian administrasi membereskan tagihan rumah sakit selama tante dirawat. Begitu petugas bagian administrasi memberikan print out rincian biayanya…..aku melongoooo…..
“Wah, banyak sekali, nggak salah nih, duitnya nggak cukup!”. Kuurungkan membayar tagihan itu, kembali aku menemui Bunda.
“Bun, duitnya kurang!”.
“Aduh, dari mana lagi ya, semua sudah ditarikin iuran?”, ujar Bunda kebingungan.
“Bunda, gimana sih, Tante Rina kan masih punya anak Dio, semestinya Bunda minta ke-dia dong?’.
“Lika sebel banget ama itu anak, sejak ibunya sakit dia selalu lepas tangan, disuruh jaga alasannya macem-macem, apalagi disuruh mikirin biaya, kayaknya seneng kalau ibunya menderita!”.
“Bun, sebenernya Dio tahu nggak sih kalau Tante Rina nggak ada harapan lagi?”.
“Belum!”.
“Aneh, sebagai anak semata wayang dan sama-sama tinggal di Bandung, Dio seharusnya lebih tahu kondisi ibunya daripada kita ini!”, kata Lika jengkel.

Sebenarnya Lika tidak masalah harus mengurus Tante Rina, banyak kenangan indah dimasa kanak-kanak dulu yang Lika alami bersamanya. Tante Rina memang sangat menyukai anak-anak, dia dekat dengan para keponakannya yang jumlahnya 2 lusin. Ketika masih kecil setiap liburan sekolah, Lika bersama saudaranya sering bertandang ke rumah Tante Rina, mereka kemudian asyik jalan-jalan membeli mainan dan balon gas. Setelah lebih besar Lika sering ditemani jalan-jalan naik kereta api ke rumah oma di desa .Kenangan yang indah, tapi aneh mengapa kenangan itu tak berbekas pada anaknya sendiri , Dio!. Mengapa Dio begitu membenci ibunya dan mengapa Tante Rina sering meninggalkan Dio sejak dia kecil?.
“Bun, kenapa sih Dio begitu membenci ibunya?”.
“Bunda nggak tahu-tahu amat, tapi setahu Bunda sejak Dio masih kecil tantemu itu sering kali meninggalkan dia, hampir setiap hari tante keluar rumah dan sejak tante masih kanak-kanak tante memang nggak betahan tinggal di rumah, hal itu terus berlanjut sampai dia tua”.
“Tantemu sejak kecil selalu tampak gelisah, duduk tidak pernah tenang, bicara dan jalan selalu tergesa-gesa, sepertinya ada sesuatu di dasar hatinya yang menggelisahkan”.
“Mungkin dibawah sadarnya, setiap hari tantemu keluar rumah hanya untuk menghindari dari rasa gelisah itu, tapi ternyata itupun nggak bisa membantu, sekarang malahan rasa gelisah menjelma menjadi kanker!”.
“Jadi akibat kebiasan tante itu, membuat Dio merasa terbuang, merasa tidak diperhatikan?”.
“Benar, apalagi sejak SMP orangtuanya praktis tidak bekerja lagi tanpa alasan yang jelas, dan untuk memenuhi kebutuhannya, Dio terpaksa harus minta dari orang lain”.
“Ooo…..jadi kemudiaan Dio memilih tinggal bersama Oom Pras di Surabaya, Dio sudah seperti anak Oom Pras sendiri”.
“Pantesan Dio begitu dekat dengan Oom Pras dan Oma, beda banget sikapnya dengan orang tuanya, seperti sama orang asing aja!”.
“Eh, jadi keasyikan ngobrol nih!”.
“Gimana dong bun dengan kekurangan duitnya?’.
“Bunda mendingan telepon Oom Rus aja soal kekurangannya, terus abis itu telepon ke Dio supaya cepat kemari biar dia tahu keadaan ibunya yang sesungguhnya”.
Segera Bunda menelpon Oom Rus lalu Dio. Untuk sementara masalah biaya bisa ditalangi oom Rus dan ternyata Dio sekarang sudah berada di lobby rumah sakit. Kami janjian bertemu disana.

Terjadi pertemuan dan percakapan antara Bunda dan Dio di lobby utama Rumah Sakit Boromeus tempat Tante Rina dirawat.
“Tante Ema, bagaimana keadaan ibu?”, tanya Dio penuh keingintahuan.
“Dit, Tante Ema ingin bicara sebentar ada hal penting yang perlu kamu ketahui tentang kesehatan ibumu”, kata Bunda lembut.
Bunda berbicara panjang lebar kepada Dio, bla…bla….bla…bla….bla….bla….
“Jadi……..ibu sakit kanker, nggak ada harapan lagi…….?”, isak Dio tertahan.
Aku terheran-heran ternyata Dio bisa nangis juga, aku pikir selama ini dia tidak mencintai ibunya, ternyata dugaanku selama ini salah!
“Karena itu, selama ibumu masih hidup, cobalah tujukkan kalau Dio benar-benar mencintai ibu, ibumu sangat mengharapkan kehadiran dan perhatianmu”, nasehat bunda.
“Pasti semua orang berpikir bahwa Dio selama ini nggak mencintai ibu, membenci ibu!”.
“Selama ini Dio kangen sama ibu, ingin selalu dekat ibu tetapi ibu selalu menjauh kalau didekati, karena itu Dio cari orang lain sebagai pengganti ibu”. Tak kuasa Dio menahan tangis dan terisak-isaklah dia dipundak Bunda. Dio yang saat itu telah berusia 35 tahun menangis seperti anak kecil.

Kisah selanjutnya pertemuan yang mengharukan terjadi lagi di ruang rawat inap kamar nomor 631 antara seorang ibu dan anak, Tante Rina dan Dio. Mereka saling berpelukan! . Mulai saat itu telah terjadi perubahan dalam diri Dio, ia begitu larut merawat ibunya, merawat dengan penuh cinta. Tampak kegembiraan mewarnai wajah Tante yang pucat. Rasa gelisah dihati Tante Rina agak terobati dengan hadirnya sang anak.

Hari-hari berikutnya keadaan Tante Rina makin memburuk, rasa gelisah semakin tampak diantara rasa sakit yang dideritanya, entah apa yang menggelisahkannya, mungkin ia mulai merasakan bahwa waktunya hampir tiba, memang para dokter sudah angkat tangan. Semakin berjalannya waktu, tampak tante semakin gelisah, sepertinya terjadi penolakan-penolakan di dalam dirinya. Aku jadi teringat tentang apa yang diajarkan oleh Guruku, jangan mencari ketenangan diluar diri, menitilah kedalam diri disitulah rasa damai berada, di hati kita sendiri, tak ada yang terpisah antara aku dan Dia. Segera Bunda, aku, Diodan Tante Rina memejamkan mata menuju keheningan diri, mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Berhari-hari upaya itu dengan tekun dilakukan oleh Tante Rina, berlahan-lahan ia mulai dapat menerima dirinya sebagaimana adanya, merasakan kedamaian di dalam diri, kini tak ada lagi rasa gelisah di hati, ia siap untuk melanjukan perjalanannya, tepat 14 hari setelah dirawat!. Selamat jalan tante, semoga lancar perjalanannya…….

(Thanks to my late aunt for the inspiration)

Foto-foto diatas merupakan hasil eksperimenku berdasarkan buku-buku tentang handicraft warisan tante saya. Sepeninggal tante saya, banyak buku-buku miliknya yang diberikan pihak keluarga kepada saya, karena tidak ada yang merawatnya.
Beberapa waktu yang lalu, aku merapikan koleksi buku-buku di rumah, ternyata ku temukan kembali buku2 handicraft warisan tanteku, lumayan ada banyak, antara lain tentang membuat lilin hias. Setelah membaca ulang buku tersebut, aku coba praktekan cara membuatnya ditambah modifikasi sana-sini sehingga menjadi model yang berbeda dari produk yang ada di buku tersebut. Inilah hasilnya…….ada yang dibuat dari lilin padat maupun lilin cair….., ada yang dibuat dengan cetakan sederhana maupun cetakan khusus yang dibuat dari sebuah model seperti lilin boneka.

Comments

One response to “Tak ada kata terlambat”

  1. A WordPress Commenter Avatar

    Hi, this is a comment.
    To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
    Commenter avatars come from Gravatar.